The prodigal daughter (1)
Terminal 1 Cengkareng, 1645
Perasaaan itu kembali menyergapnya. Perasaan sesak, sendiri, dan ditinggalkan, seolah-olah peristiwa-peristiwa paling menyedihkan yang bisa dialami seorang anak manusia menari-nari di kelopak matanya. Ya, seolah-olah. Karena ia tidak yakin bahwa apa yang pernah dialaminya adalah hal yang paling menyedihkan yang bisa dialami seseorang. Karena ia tahu di luar sana, jauh lebih banyak kenestapaan dan kesedihan yang mungkin tidak akan pernah bisa ditanggungnya. Tapi perasaan itu tetap mengungkungnya, semua keriuhan penumpang yang kesal karena pesawat tertunda satu jam hanya gara-gara seorang awak pesawatnya terjebak macet (bayangkan, awak pesawat terjebak macet!) menuju bandara seperti tidak menyentuhnya. Ia seperti berada di sebuah ruangan yang begitu luas, dimana ia duduk sendiri, dan bertanya-tanya mengapa ia sendiri…
Ia masih ingat percakapan di ruang periksa dokter itu beberapa waktu lalu. Seorang dokter yang simpatik, yang sudah beberapa kali ia “kunjungi”. Dokter yang mengingatkannya pada seorang dokter yang lain yang selalu memenuhi hatinya sejak setahun terakhir ini. Tidak, dokter itu sebenarnya cerewet, sedikit judes, bahkan terkesan tidak mendengarkan keluhannya, malah membantah dan sedikit mengolok-olok.
“Dok, saya masih ada keluhan lain.”
“Shoot.”
“Saya, eh... ini berdasar apa yang sudah saya baca, dan ini diagnosa saya sebagai awam. Saya merasa saya terkena manik depresif.”
“Apa itu?”
Sejenak ia merasa mata dokter itu mengoloknya, tapi sudah terlanjur, ia tetap harus mengatakannya.
“Maksud saya… suasana hati saya yang sangat ekstrem sejak hampir setahun terakkhir ini. Up and down yang begitu cepat. Suatu saat saya begitu gembira, begitu excited ingin melakukan suatu hal, banyak hal bahkan, ingin mencapai sesuatu, ingin bepergian ke tempat yang tidak pernah dituju orang, tapi kemudian tiba-tiba saya menjadi begitu sedih tak karuan juntrungnya, ingin sendiri, ingin menarik diri dari semua orang, tidak ingin bertemu siapapun, ingin menyalahkan diri sendiri untuk semua kekurangan saya. Dan dalam keadaan seperti itu, saya bisa menangis tanpa sebab, tidak ingin bertemu siapapun, dan merasa tidak ingin hidup, tapi bukan berarti ingin mati. Tapi kemudian saya akan gembira lagi. Tapi saya lebih banyak merasa depresi, terkungkung dalam badan dan jiwa yang tidak saya sukai ini…”
Kembali ia merasa mata dokter itu menelanjanginya sebelum akhirnya mulutnya yang membentuk garis sinis itu membuka:
“Hmmm… Bagus kamu bisa menyadari keluhan-keluhan dan apa yang kamu rasakan. I tell you one thing, seorang manik depresif tidak akan bisa mengutarakan keluhan-keluhannya dengan gamblang seperti yang baru saja kau lakukan. Ia justru tidak akan menyadarinya dan mungkin tidak mau menyadarinya, hanya orang-orang sekitarnya yang bisa merasakannya dan mengutarakan dengan gamblang apa yang sedang terjadi dengan orang itu. Menurutku, kamu sedang mengalami suatu proses hidup yang wajar terjadi pada semua orang. Dan karena kamu bisa mengidentifikasi gejala-gejalanya, tinggal upayakan saja untuk mencari solusinya.”
Percakapan itu membuatnya kesal. Kesal karena sudah membayar mahal tapi tidak mendapatkan ‘simpati’ dari dokter yang dimatanya makin terlihat simpatik itu. Ya, ia ingin sekali dokter itu mengiakan, “Kamu memang gila,” atau paling tidak mengatakan, “Kamu…baik-baik saja? Menurutku kamu semakin aneh saja …”
Lamunannya buyar, petugas ruang tunggu sudah mengumumkan bahwa penumpang harus segera memasuki pesawat. Hatinya terasa semakin berat, ia tidak tahu apakah kembali ke kotanya akan memberi perbedaan.
Yogyakarta, 19.15
Kota ini masih seperti dulu, menyisakan kenangan-kenangan dalam lubuk hatinya yang sudah semakin sesak. Ia bagai si anak hilang dalam alkitab. Bedanya, dalam alkitab si anak hilang disambut dengan suka cita dan pesta, kali ini ia merasa kota masa kecilnya menyambutnya dengan dingin. Dingin AC taksi bandara yang mengantarkannya ke rumah masa kecilnya semakin membuat dirinya merasa sendirian. Sudah berapa kali ia merasakan ini, ketika dari satu kota lain ia harus kembali ke kota kecil ini, untuk kemudian pergi ke kota lain, menyambut kesendiriannya serta kumpulan rasa sesak yang entah kapan akan menjadi bom waktu?
*2 Juli 2005. Begitu lamakah?*
*Masih bersambung, entah kapan. Mungkin ketika sang prodigal daughter tak lagi merasa diri prodigal. Betapa anehnya kata itu sekarang bergaung, betapa sombongnya ia merasa.*
Labels: Prodigal daughter
<< Home