A lone journey to neverland

It's just a long journey of being without anyone, but none other only with myself.

Wednesday, July 28, 2004

Unverhoft komft oft? - Sebuah babak baru pencerahan

Sungguh mati aku tidak akan pernah membayangkan bisa berkenalan dengan cowok bule yang ganteng - kadang mirip Leonardo de Caprio, kadang mirip Tom Cruise - dan fasih berbahasa Indonesia pula!

Masih sangat lekat dalam benakku, waktu itu telpon kamarku berbunyi dan sebuah suara bule dengan menggunakan bahasa Indonesia menyapaku: "Tata? Apakah benar ini Tata, mahasiswa SOAS dari Indonesia? Saya hampir tidak percaya ketika Adriana memberitahu ada seorang mahasiswi Indonesia yang tinggal di hall yang sama dengan saya. Saya Christian. Saya baru saja kembali dari Belanda. Kita harus bertemu."

Maka kamipun bertemu, dan masih lekat pula dalam ingatanku, waktu itu aku dengan naifnya bertanya: "Christian, kamu tidak seperti orang Indonesia." Dengan senyumnya yang mungkin akan membuat gadis-gadis muda - aku tidak termasuk karena aku sudah termasuk STNK dan memang sampai waktu itu tidak pernah tertarik bule - bertekuk lutut, dan matanya yang jenaka menggoda ia menyahut:"Memang saya bukan orang Indonesia, saya orang Jerman!" Diikuti dengan tawanya yang sedikit aneh, yang belakangan dia sebut sebagai 'my nasty laugh'.

Ah, ah, orang Jerman satu ini memang luar biasa. Ia bukan saja pintar bahasa Indonesia, tapi juga mendalami satu adat istiadat dan budaya satu suku di Indonesia, menghayati budaya perang suku tersebut hingga ia diangkat anak oleh seorang panglima perang dalam suku itu. Kamarnya penuh dengan segala sesuatu yang berbau Indonesia dan berbau suku tersebut. Untuk sebagian orang, kamar itu terkesan mistis, gelap, kelabu, dan berbau tidak menyenangkan, bau rokok kretek! Memang, dia hanya bisa menghisap rokok Jisamsu, Gudang Garam dan Sampurna. Kalau dia sudah mulai menghisap rokok Marlboro, berarti pikirannya sedang kacau dan tidak beres, atau dia sedang bokek, karena biasanya ia mendapatkan rokok jenis itu dari tetangga flatnya, seorang gadis Rusia yang hampir tidak pernah bicara, kecuali mengangkat alis dan merokok di dapur...

Barangkali itulah yang disebut Unverhoft komft oft, sesuatu berkah yang tidak akan kita duga akan terjadi pada kita. Demikian pula hadirnya Christian dalam hidupku, sebuah unherfoft komf oft. Bukan saja reaksi kimia diantara kami bekerja seperti layaknya sesama orang Indonesia, tapi juga ia adalah seseorang yang tidak henti-hentinya mencoba memberi semangat dan memberi pencerahan dalam berbagai segi. Sastra, budaya, agama, makanan, minuman keras, lukisan, semua tidak lepas dari sisi pencerahan itu. Bersamanya hidup sehari-hari adalah suatu tantangan yang harus selalu dipertanyakan. Bersamanya berarti siap untuk berkelana dari satu cafe ke cafe lain, untuk duduk bersama merenungkan dan mendiskusikan arti hidup ini dan pencerahan bagi hidup ini. Bersamanya adalah ada waktu-waktu dimana aku dan dia merasa hidup kami wasted, penuh dengan gejolak peristiwa cinta dan hubungan-hubungan aneh yang tak bakal dipahami kaum awam biasa. Ah, ah, mungkin karena kami adalah dua orang aneh yang terdampar dalam jagad buana asing yang membuat kami hidup dalam dunia kami sendiri...

Hari demi hari di London adalah hari penuh harapan, tangis, tawa, canda, dan juga kemarahan bersama Christian. Ia akan marah kalau melihat aku mengubur diriku bersama buku-buku dan kata-kata untuk essayku yang tidak kunjung mencapai seribu jumlahnya, sementara aku harus menulis tujuh ribu kata. Ia menangis ketika melihat aku sakit dan tidak bisa berjalan karena aku terlalu lama mengubur diri dengan buku-bukuku. Ia menggoda aku dan menyebutku 'nenekku yang baik' kalau melihat uban rambutku yang mulai merambah kemana-mana. Tentu saja aku bisa menjadi nenek dia yang baik, mungkin ibu dia, karena ia lebih muda 13 tahun! Dan kemudaannya kadang membuatku tidak sabar, kadang membuatku ingin pergi jauh darinya, karena kadang aku tidak bisa mengikutinya... Sering dengan tidak sabar kubilang padanya:"Christian, i am not as young as you are, you have to remember that!". Dan dengan lagak bodoh dia hanya menjawab:"Apa? Coba sekali lagi kau ucapkan dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris saya sangat tidak bagus".

Hari demi hari berlalu, dan ia harus kembali ke Jerman. Meskipun ia selalu 'menghilang' dari kamarnya untuk pergi ke Jerman, Belanda, Perancis atau entah kemana - yang selalu aku sukuri karena dengan demikian teman-temanku yang menginap bisa menggunakan kamar dia untuk tidur - aku tidak pernah kehilangan. Kadang kemudaannya membuatku tercekik, hingga aku sering bersukur bahwa ia tidak ada di sekitarku. Hingga aku mengunjunginya di sebuah desa yang cantik, bersama dengan sahabatku. Hari-hari kami di desanya di Jerman seperti hari-hari yang dilukiskan oleh Renoir, Monet ataupun van Gogh mengenai keindahan sungai, pastoral dan lembah-lembah. Semuga begitu indah, syahdu, hangat. Dan keluarganya begitu hangat, memeluk kami berdua dalam keramahan mereka, dalam kehidupan sehari-hari di sebuah keluarga di sebuah desa di Jerman yang tak akan pernah terbayangkan dalam hidupku dan hidup sobatku. Unverhoft komt oft, sekali lagi itu yang terjadi.

Hingga saat itu tiba, sejuta kata mendesak untuk diucapkan, namun ia tak kunjung tiba. Tak terasa pelupuk mata menjadi berat, dan berkantong, hingga butiran air mata mengalir. Ah, Tata menangis. Tata yang hampir tidak pernah menangisi perpisahan karena ia menganggap dirinya rootless, selalu berpindah-pindah, selalu berpisah dengan orang yang dekat di hatinya, selalu tidak boleh terlalu lekat dengan bumi yang dipijaknya dan manusia yang mengelilinginya. Dan air mata itu terwujud karena kasih sayang seorang sahabat yang tiada taranya. Kami menangis bersama, merasa bahwa tidak cukup kata-kata yang bisa mengungkapkan semuanya.

"Kita harus bertemu lagi suatu saat, Tata"
"Tentu Christian. Pernahkah kusampaikan padamu bahwa kamu adalah seorang sahabat yang luar biasa?"

Dan kami menangis berdua, hingga terucaplah kata-kata itu:
"Mungkin kita bisa menikah."
"Mengapa Christian?"
"Supaya aku bisa membeli rumah di Indonesia, kamu bisa menempatinya, dan setiap saat aku di Indonesia aku bisa juga ikut menempatinya. Mungkin juga suatu saat rumah itu bisa menjadi milikmu."
"Aku kira itu ide yang cukup menarik. Tapi kita hanya menikah untuk rumah itu saja kan?"
"Tentu."
"Setuju. Mari kita pikirkan lagi."

Demikian, sebuah babak baru pencerahan dimulai.....

London, July 28 2004

it's like a distant memory