A lone journey to neverland

It's just a long journey of being without anyone, but none other only with myself.

Saturday, July 12, 2008

The prodigal daughter (2)

Dua minggu ini ia sibuk sekali; ia sibuk menerima tamu dan bersama orang lain. Buku yang seharusnya sudah ia selesaikan dan berikan pada editor sebulan lalu tetap saja baru 40%. Baru 40%, eh sudah 40% bang; I will let you know when it reaches 60% and then you can give your ideas. Begitu ia selalu berkelit dua minggu terakhir ini pada editor yang harus mengedit tulisannya itu. Seorang lelaki dan teman yang baik, aneh tapi baik. Tapi, bukankah ia dikelilingi orang-orang aneh yang baik? Ia bersukur ia tidak dikelilingi orang-orang yang aneh dan tidak baik. Ya ada satu dua, tapi ia selalu berhasil menghindar dari orang-orang semacam itu. Paling tidak itu keyakinannya.

Dear, kamu free gak sore ini? Ngopi yuk denganku? Itulah awal kesibukannya dua minggu ini. Telepon dari satu teman yang sedang bermasalah dengan suami, dan anak-anaknya. Masalah dengan suami karena suami yang abusive secara mental, masalah dengan anak-anak yang tidak mau tahu ibunya bekerja keras untuk menghidupi mereka, termasuk bapak mereka.

Sure, I will be all ears. Five o’clock, the usual? Dan sore itu ia luangkan dengan memandang busa-busa dari mulut temannya yang bercerita tentang huru-hara rumah tangganya. Busa di kopinya sudah lama mengendap dan dingin ketika ia sesap rasanya. Pahit, mungkin sepahit kisah hidup temannya itu. Sore itu berakhir dengan malam yang terasa mistis baginya. Thanks ya dear, kamu selalu mau mendengarku. Eh, sudah sampai mana bukumu? Tentu aku mengganggu deadline-mu ya? Itu ia jawab dengan senyum-senyum tipis untuk melegakan seorang teman. No problem, as I said, i would be all ears. Now can’t you see that my ears already shrunk from your stories? Dan si teman memukul bahunya.

Kemudian silih berganti undangan minum kopi, makan siang, makan malam mampir. Dari seorang mantan pacar yang sedang berdinas di kotanya. Aku ingin kamu temani menghirup udara malam Jogja menjelang pagi, seperti dulu kita lakukan berdua. Bertemulah ia dengan sang mantan pacar, lengkap dengan rombongan teman laki-lakinya. Mereka menikmati kehadiran dia, berterima kasih untuk referensi makan malam yang eksotis yang diakhiri dengan lesehan di sebuah angkringan yang jorok dan obrolan tak henti-hentinya tentang segala hal serta kepulan tebal asap rokok yang harus susah payah dihalaunya. Seperempat pagi sudah mulai ketika mereka mengantarnya pulang dan mereka kembali ke hotel tempat mereka menginap. Ia masih berkutat mencoba membuka pintu rumahnya dengan kunci yang agak karatan ketika SMSnya masuk. Mereka menyukaimu. Mereka bilang kamu asik. Gombalnya lagi, mereka tanya kenapa kita dulu tidak kawin saja. Kenapa ya? Tersenyum kecut ia membaca SMS itu, sempat tergelitik untuk menjawab kamu masih sepertu dulu saja, perayu tingkat SMS dan YM. Rasanya sudah penuh sesak HPnya dengan pesan-pesan model itu. Mungkin kelak ia bisa menerbitkannya sebagai sebuah epistolari atau apa.

Dua hari kemudian mertua seorang sahabatnya datang. Seorang nenek yang berusia di atas 70 tahun yang masih lincah, yang bersemangat tinggi menaiki kereta api dari Jakarta ke Jogja, namun toh memintanya untuk menemani ke Keraton dan Prambanan. Ia tersenyum sendiri, itu adalah dua tempat yang tidak pernah ia kunjungi kalau tidak sedang mengantar seseorang. Selama perjalanan di siang yang terik itu tak henti-hentinya si nenek berceloteh, dan ia bersukur hari itu ia punya banyak energi untuk menanggapinya dengan tulus. Betapa nenek itu sangat heran mendapatinya berbahasa Jawa halus dengan abdi dalem Keraton itu. Kamu ini lahir tahun berapa, kok masih bisa berbahasa Jawa halus? Mungkin si nenek mengira ia golongan generasi muda yang tak perduli lagi bahasa dan tata krama. Mungkin si nenek mengira ia seusia menantunya, yang lebih muda 12 tahun darinya. Sepulang dari kunjungan itu, sang sahabat menelponnya. Hi, lu apakan mama? Mama begitu terkesan dan bilang lu bisa menjadi menantu yang baik, tentu karena mungkin guwa bukan menantu yang cukup baik untuknya haha... Mama bahkan minta ijin minta nomor lo agar diberikan ke keponakan suami yang jomblo, supaya kalian bisa bertemu hahaha...

Dan dua minggu mengalir dengan tak terasa. Seorang teman lama (yang sempat sekejap dipacarinya) datang ke Jogja bersama dengan penulis perempuan Indonesia yang dikaguminya. Ia ajak mereka mencecap mi Jawa di sebuah desa 15 km jauhnya, yang berakhir dengan obrolan di kamar hotel hingga pagi berdua saja, dan dengan sang penulis perempuan itu ketika makan pagi. Bicara tentang rumah dan kesehatan. Selamat dengan rumahnya, kata si penulis. Ia menggerutu sendiri ketika sadar bahwa mereka justru sama sekali tidak membicarakan buku baru penulis itu, apalagi meminta bukunya. Pikirannya terlalu sibuk mencerna apa yang terjadi malam hingga pagi tadi bersama sang teman lama. Di taksi sempat diketikkannya kata-kata itu. Thanks for the night and the journey with the dew into the morning; you know that you're always be in my blood, in my vein. I have forgotten your love, but your shadow seems to cling in every window. Tersenyum-senyum ia menyadari bahwa dirinya ternyata juga tak lebih dari seorang perayu tingkat SMS yang tak tahu malu, mengutip kata-kata Rumi dan Neruda untuk pesan yang mungkin langsung dihapus dari HP penerima setelah dibaca.

Kembali ke rumahnya yang sepi, ia buka sederet pesan yang sejak kemarin tak dibacanya. Ia dapati selarik kata dari seorang kawan penulis. Aku tak tahu lagi diriku, aku merasa kesunyian di tengah keramaian ini. Ringkas dibalasnya, barangkali kau sedang jatuh cinta?

Telepon berdering, suara tua dari seberang bertanya, atau lebih tepatnya menuduh. Kapan kau mengunjungi ibu? Apakah kau masih sibuk dengan bukumu? Datanglah.

Diliriknya laptop yang tak sempat dimatikannya ketika ia pergi. Sebuah tulisan terpampang ketika satu tombol ditekannya. Tanggal versi tulisan masih tertulis 2 minggu sebelumnya. Kemudian diambilnya pena merah, dicoretnya tanggal esok hari. Rumah Jompo Hana, jam 10-13.

* You’re not alone. No one can really understand this feeling inside, either. They only want to see the throng in us.*