A lone journey to neverland

It's just a long journey of being without anyone, but none other only with myself.

Sunday, July 27, 2008

Song of the night to the dawn: a journey revisited

I open up my arms ready for the darkest night,
yet my embrace meets the trace of awaiting dew
I ask myself if ever
it will succumb to the glory of the sun

I love you,
but like the dew in the glorious morning,
it will fade as day unfolds and
prepares for yet another morning

But I do love you, I do

*for the rain man: thank you for making me revisit this journey, and for the music of the heart you sent out through the high wall*

Sunday, July 13, 2008

The song of death (2)

Pernah kau bilang padaku: Tahukah kau bahwa semua curahan hatimu bagaikan sebuah buku dengan sampul hitam belaka, dengan hanya putih tali gantungan menjadi gambarnya?

Tak pernah kubilang bahwa sejak lama kuikuti Yukio Mishima dengan semua pikiran gelapnya tentang sebuah negara yang maha adijaya, atau Sylvia Plath yang tak pernah merasa damai dengan hubungan cinta dan keberadaan dirinya, atau mungkin ”sekedar” seorang Wongso yang resah ketika anak semata wayangnya dihamili bosnya.

Tak pernah kubilang bahwa kematian adalah seperti teras depan rumah kita, yang kita rancang begitu sempurna untuk membuat orang mau masuk ke dalam naungan kita; ia tak ubahnya cahaya di ujung lorong gelap, yang membuat para pengembara bersuka-cita akan sebuah perjalanan baru yang bisa dilewatinya; atau bunga-bunga dan kain beraneka warna dalam upacara pembakaran raga di sebuah pulau yang dianggap tempat para dewata yang justru tak sempat membuat jiwa merasa merana ditinggalkan yang tercinta?

Bahkan kalau kau ingin agar sampul itu tetap demikian adanya, mungkin kau tak pernah tahu bahwa itulah gambaran lain jiwaku yang sesungguhnya, yang kutahu kau tak pernah ingin coba bertanya-tanya: bahwa di dunia ini hanya ada hitam dan putih belaka.

*remembering Kimitake Hiraoka and his seppuku and jisei, and for all his dark and troubling but inspiring works until the end of his meticolously planned death.*
**inspired by a short story in today’s
Kompas daily**

Saturday, July 12, 2008

The prodigal daughter (2)

Dua minggu ini ia sibuk sekali; ia sibuk menerima tamu dan bersama orang lain. Buku yang seharusnya sudah ia selesaikan dan berikan pada editor sebulan lalu tetap saja baru 40%. Baru 40%, eh sudah 40% bang; I will let you know when it reaches 60% and then you can give your ideas. Begitu ia selalu berkelit dua minggu terakhir ini pada editor yang harus mengedit tulisannya itu. Seorang lelaki dan teman yang baik, aneh tapi baik. Tapi, bukankah ia dikelilingi orang-orang aneh yang baik? Ia bersukur ia tidak dikelilingi orang-orang yang aneh dan tidak baik. Ya ada satu dua, tapi ia selalu berhasil menghindar dari orang-orang semacam itu. Paling tidak itu keyakinannya.

Dear, kamu free gak sore ini? Ngopi yuk denganku? Itulah awal kesibukannya dua minggu ini. Telepon dari satu teman yang sedang bermasalah dengan suami, dan anak-anaknya. Masalah dengan suami karena suami yang abusive secara mental, masalah dengan anak-anak yang tidak mau tahu ibunya bekerja keras untuk menghidupi mereka, termasuk bapak mereka.

Sure, I will be all ears. Five o’clock, the usual? Dan sore itu ia luangkan dengan memandang busa-busa dari mulut temannya yang bercerita tentang huru-hara rumah tangganya. Busa di kopinya sudah lama mengendap dan dingin ketika ia sesap rasanya. Pahit, mungkin sepahit kisah hidup temannya itu. Sore itu berakhir dengan malam yang terasa mistis baginya. Thanks ya dear, kamu selalu mau mendengarku. Eh, sudah sampai mana bukumu? Tentu aku mengganggu deadline-mu ya? Itu ia jawab dengan senyum-senyum tipis untuk melegakan seorang teman. No problem, as I said, i would be all ears. Now can’t you see that my ears already shrunk from your stories? Dan si teman memukul bahunya.

Kemudian silih berganti undangan minum kopi, makan siang, makan malam mampir. Dari seorang mantan pacar yang sedang berdinas di kotanya. Aku ingin kamu temani menghirup udara malam Jogja menjelang pagi, seperti dulu kita lakukan berdua. Bertemulah ia dengan sang mantan pacar, lengkap dengan rombongan teman laki-lakinya. Mereka menikmati kehadiran dia, berterima kasih untuk referensi makan malam yang eksotis yang diakhiri dengan lesehan di sebuah angkringan yang jorok dan obrolan tak henti-hentinya tentang segala hal serta kepulan tebal asap rokok yang harus susah payah dihalaunya. Seperempat pagi sudah mulai ketika mereka mengantarnya pulang dan mereka kembali ke hotel tempat mereka menginap. Ia masih berkutat mencoba membuka pintu rumahnya dengan kunci yang agak karatan ketika SMSnya masuk. Mereka menyukaimu. Mereka bilang kamu asik. Gombalnya lagi, mereka tanya kenapa kita dulu tidak kawin saja. Kenapa ya? Tersenyum kecut ia membaca SMS itu, sempat tergelitik untuk menjawab kamu masih sepertu dulu saja, perayu tingkat SMS dan YM. Rasanya sudah penuh sesak HPnya dengan pesan-pesan model itu. Mungkin kelak ia bisa menerbitkannya sebagai sebuah epistolari atau apa.

Dua hari kemudian mertua seorang sahabatnya datang. Seorang nenek yang berusia di atas 70 tahun yang masih lincah, yang bersemangat tinggi menaiki kereta api dari Jakarta ke Jogja, namun toh memintanya untuk menemani ke Keraton dan Prambanan. Ia tersenyum sendiri, itu adalah dua tempat yang tidak pernah ia kunjungi kalau tidak sedang mengantar seseorang. Selama perjalanan di siang yang terik itu tak henti-hentinya si nenek berceloteh, dan ia bersukur hari itu ia punya banyak energi untuk menanggapinya dengan tulus. Betapa nenek itu sangat heran mendapatinya berbahasa Jawa halus dengan abdi dalem Keraton itu. Kamu ini lahir tahun berapa, kok masih bisa berbahasa Jawa halus? Mungkin si nenek mengira ia golongan generasi muda yang tak perduli lagi bahasa dan tata krama. Mungkin si nenek mengira ia seusia menantunya, yang lebih muda 12 tahun darinya. Sepulang dari kunjungan itu, sang sahabat menelponnya. Hi, lu apakan mama? Mama begitu terkesan dan bilang lu bisa menjadi menantu yang baik, tentu karena mungkin guwa bukan menantu yang cukup baik untuknya haha... Mama bahkan minta ijin minta nomor lo agar diberikan ke keponakan suami yang jomblo, supaya kalian bisa bertemu hahaha...

Dan dua minggu mengalir dengan tak terasa. Seorang teman lama (yang sempat sekejap dipacarinya) datang ke Jogja bersama dengan penulis perempuan Indonesia yang dikaguminya. Ia ajak mereka mencecap mi Jawa di sebuah desa 15 km jauhnya, yang berakhir dengan obrolan di kamar hotel hingga pagi berdua saja, dan dengan sang penulis perempuan itu ketika makan pagi. Bicara tentang rumah dan kesehatan. Selamat dengan rumahnya, kata si penulis. Ia menggerutu sendiri ketika sadar bahwa mereka justru sama sekali tidak membicarakan buku baru penulis itu, apalagi meminta bukunya. Pikirannya terlalu sibuk mencerna apa yang terjadi malam hingga pagi tadi bersama sang teman lama. Di taksi sempat diketikkannya kata-kata itu. Thanks for the night and the journey with the dew into the morning; you know that you're always be in my blood, in my vein. I have forgotten your love, but your shadow seems to cling in every window. Tersenyum-senyum ia menyadari bahwa dirinya ternyata juga tak lebih dari seorang perayu tingkat SMS yang tak tahu malu, mengutip kata-kata Rumi dan Neruda untuk pesan yang mungkin langsung dihapus dari HP penerima setelah dibaca.

Kembali ke rumahnya yang sepi, ia buka sederet pesan yang sejak kemarin tak dibacanya. Ia dapati selarik kata dari seorang kawan penulis. Aku tak tahu lagi diriku, aku merasa kesunyian di tengah keramaian ini. Ringkas dibalasnya, barangkali kau sedang jatuh cinta?

Telepon berdering, suara tua dari seberang bertanya, atau lebih tepatnya menuduh. Kapan kau mengunjungi ibu? Apakah kau masih sibuk dengan bukumu? Datanglah.

Diliriknya laptop yang tak sempat dimatikannya ketika ia pergi. Sebuah tulisan terpampang ketika satu tombol ditekannya. Tanggal versi tulisan masih tertulis 2 minggu sebelumnya. Kemudian diambilnya pena merah, dicoretnya tanggal esok hari. Rumah Jompo Hana, jam 10-13.

* You’re not alone. No one can really understand this feeling inside, either. They only want to see the throng in us.*

Wednesday, July 09, 2008

Romansa masa lalu

kala itu, ketika kau sentuh tanganku
ada getar kesukaan dan cinta
kutahu semuanya
ia menyatakan diri
seadanya

ya tepat 5 tahun yang lalu hari ini

kau juga mengingatnya

aku tak lebih ingat daripada engkau

aku tahu, kau masih seperti dulu. Apakah kau juga masih hidup dalam romansa-romansa masa lalumu?

tidak, sampai kau datang padaku

*because you did not know that i never live from the past. because i have not been alive. i start to live for tomorrow from my past only today. 5 years ago*
**i only write this for the memory of you, 5 years ago. till death already did us apart*

Tuesday, July 08, 2008

Agape non eros

because you love me when the whole world
is on a conspiracy against my true self
through the profanity of a man

agape non eros


*i know, because my eros for you is totally agape*
** thank you for being there, as always, as profane as that**

Sunday, July 06, 2008

Second chance

i m glad that i found
that long-lost feeling of being myself
believing that being the second is the first of the third

after all, aren't we all entitled for that second chance?

*after some complicated and hard-to-make-sense justification, i've got only to say: thanks for this million times of second chance*