A lone journey to neverland

It's just a long journey of being without anyone, but none other only with myself.

Sunday, March 23, 2008

God, give us grace to accept with serenity the things that cannot be changed, courage to change the things which should be changed and the wisdom to distinguish the one from the other. ~ Reinhold Niebuhr Originally part of a sermon in 1943 and later used by Alcoholics Anonymous, quoted by June Bingham Courage to Change Scribner’s 61


*God give me the strength to accept the things that I know I can change but I wish not to change. Yes, I may be talking about two different things, two different philosophies. But things may not always be what they seem*

Painting: Setyo Dharmojo

The not tightly shut pandora box

i open your pandora box, once
and love came out of it
so did restlessness, confusion, jealousy

but i felt i was alive

Now i close it, maybe forever

Maybe i won't feel love
coming out of it
nor restlessness or confusion or jealousy

Yet i know
my pandora box is not tightly shut
and my feelings for you still roams

and yet i don't feel i am alive

and i wish i could shut that box forever

Jogja, 26 January 2008 - just a few days after the celebration of the estranged souls

*just unmeaningful ramblings as i was watching the rain today. as if it has something to do with the rain yesterday. except that i felt cold inside, just like yesterday*

Labels: ,

Saturday, March 22, 2008

I want to love you
like the rain that rays
on the grateful soil

And it will grow

Bajawa, 30 Dec 2006
the memory is as dark as the cloud over inerie now

*and i am not the one to say of your gratefulness nor ungratefulness. i forgive you, i forget you because nothing has really grown*

Labels:

The prodigal daughter (1)

Terminal 1 Cengkareng, 1645

Perasaaan itu kembali menyergapnya. Perasaan sesak, sendiri, dan ditinggalkan, seolah-olah peristiwa-peristiwa paling menyedihkan yang bisa dialami seorang anak manusia menari-nari di kelopak matanya. Ya, seolah-olah. Karena ia tidak yakin bahwa apa yang pernah dialaminya adalah hal yang paling menyedihkan yang bisa dialami seseorang. Karena ia tahu di luar sana, jauh lebih banyak kenestapaan dan kesedihan yang mungkin tidak akan pernah bisa ditanggungnya. Tapi perasaan itu tetap mengungkungnya, semua keriuhan penumpang yang kesal karena pesawat tertunda satu jam hanya gara-gara seorang awak pesawatnya terjebak macet (bayangkan, awak pesawat terjebak macet!) menuju bandara seperti tidak menyentuhnya. Ia seperti berada di sebuah ruangan yang begitu luas, dimana ia duduk sendiri, dan bertanya-tanya mengapa ia sendiri…

Ia masih ingat percakapan di ruang periksa dokter itu beberapa waktu lalu. Seorang dokter yang simpatik, yang sudah beberapa kali ia “kunjungi”. Dokter yang mengingatkannya pada seorang dokter yang lain yang selalu memenuhi hatinya sejak setahun terakhir ini. Tidak, dokter itu sebenarnya cerewet, sedikit judes, bahkan terkesan tidak mendengarkan keluhannya, malah membantah dan sedikit mengolok-olok.

“Dok, saya masih ada keluhan lain.”
Shoot.”
“Saya, eh... ini berdasar apa yang sudah saya baca, dan ini diagnosa saya sebagai awam. Saya merasa saya terkena manik depresif.”
“Apa itu?”

Sejenak ia merasa mata dokter itu mengoloknya, tapi sudah terlanjur, ia tetap harus mengatakannya.
“Maksud saya… suasana hati saya yang sangat ekstrem sejak hampir setahun terakkhir ini. Up and down yang begitu cepat. Suatu saat saya begitu gembira, begitu excited ingin melakukan suatu hal, banyak hal bahkan, ingin mencapai sesuatu, ingin bepergian ke tempat yang tidak pernah dituju orang, tapi kemudian tiba-tiba saya menjadi begitu sedih tak karuan juntrungnya, ingin sendiri, ingin menarik diri dari semua orang, tidak ingin bertemu siapapun, ingin menyalahkan diri sendiri untuk semua kekurangan saya. Dan dalam keadaan seperti itu, saya bisa menangis tanpa sebab, tidak ingin bertemu siapapun, dan merasa tidak ingin hidup, tapi bukan berarti ingin mati. Tapi kemudian saya akan gembira lagi. Tapi saya lebih banyak merasa depresi, terkungkung dalam badan dan jiwa yang tidak saya sukai ini…”

Kembali ia merasa mata dokter itu menelanjanginya sebelum akhirnya mulutnya yang membentuk garis sinis itu membuka:

“Hmmm… Bagus kamu bisa menyadari keluhan-keluhan dan apa yang kamu rasakan. I tell you one thing, seorang manik depresif tidak akan bisa mengutarakan keluhan-keluhannya dengan gamblang seperti yang baru saja kau lakukan. Ia justru tidak akan menyadarinya dan mungkin tidak mau menyadarinya, hanya orang-orang sekitarnya yang bisa merasakannya dan mengutarakan dengan gamblang apa yang sedang terjadi dengan orang itu. Menurutku, kamu sedang mengalami suatu proses hidup yang wajar terjadi pada semua orang. Dan karena kamu bisa mengidentifikasi gejala-gejalanya, tinggal upayakan saja untuk mencari solusinya.”

Percakapan itu membuatnya kesal. Kesal karena sudah membayar mahal tapi tidak mendapatkan ‘simpati’ dari dokter yang dimatanya makin terlihat simpatik itu. Ya, ia ingin sekali dokter itu mengiakan, “Kamu memang gila,” atau paling tidak mengatakan, “Kamu…baik-baik saja? Menurutku kamu semakin aneh saja …”

Lamunannya buyar, petugas ruang tunggu sudah mengumumkan bahwa penumpang harus segera memasuki pesawat. Hatinya terasa semakin berat, ia tidak tahu apakah kembali ke kotanya akan memberi perbedaan.

Yogyakarta, 19.15

Kota ini masih seperti dulu, menyisakan kenangan-kenangan dalam lubuk hatinya yang sudah semakin sesak. Ia bagai si anak hilang dalam alkitab. Bedanya, dalam alkitab si anak hilang disambut dengan suka cita dan pesta, kali ini ia merasa kota masa kecilnya menyambutnya dengan dingin. Dingin AC taksi bandara yang mengantarkannya ke rumah masa kecilnya semakin membuat dirinya merasa sendirian. Sudah berapa kali ia merasakan ini, ketika dari satu kota lain ia harus kembali ke kota kecil ini, untuk kemudian pergi ke kota lain, menyambut kesendiriannya serta kumpulan rasa sesak yang entah kapan akan menjadi bom waktu?

*2 Juli 2005. Begitu lamakah?*
*Masih bersambung, entah kapan. Mungkin ketika sang prodigal daughter tak lagi merasa diri prodigal. Betapa anehnya kata itu sekarang bergaung, betapa sombongnya ia merasa.*

Labels:

Tuesday, March 18, 2008

Another equation when i find myself in you

the boredom passionately lingering on your face
the forever search that ends in too many confusing tunnels
the freedom of being connected
the feeling of being connected in detachment

suddenly it matters not anymore
what you are to me
nor what i am to you
I find myself in you

*in math, minus times minus is plus. could this be really true for us? or instead it will end up in this equation: R=H x V/C? Assuming that you're the hazard and i am the vulnerability. Without the C (what could it possibly be?), disastrous and risky, indeed. This idea i mean*